SPBU CODO 13.293.624 RENGAT DIDUGA MARKAS MAFIA SOLAR, ANTRIAN PELANGSIR KEMBALI MENGULAR TENGAH MALAM!
RENGAT, INHU —
Tepat Jumat dini hari, 24 Oktober 2025 sekitar pukul 00.00 WIB, situasi di SPBU CODO 13.293.624 yang berlokasi di Jalan Lintas Timur, Desa Bunga Tanjung – Puncak Selasih, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, kembali mencoreng wajah penegakan hukum dan integritas pengawasan distribusi BBM bersubsidi jenis Bio Solar.
Puluhan dump truk Colt Diesel bertenda terpal biru tampak berjejer rapat di jalur Pompa 3, membentuk antrian panjang pelangsir yang nyaris menutup akses kendaraan umum. Pemandangan mencolok ini bukan pertama kali terjadi — seolah menjadi rutinitas malam hari di SPBU tersebut.
Menurut pantauan tim media di lokasi, setiap truk pelangsir melakukan pengisian berulang kali menggunakan tangki modifikasi, sementara barcode digital subsidi tidak diberlakukan sebagaimana mestinya. Kondisi ini membuka ruang bagi transaksi ilegal yang terang-terangan dilakukan tanpa rasa takut.
“Terpal biru itu seakan jadi kode kelompok mafia solar. Mereka datang bergerombol tiap malam, dan tak ada aparat yang berani menegur,” ungkap salah seorang sopir lintas yang enggan disebutkan namanya.
Hasil investigasi menunjukkan, BBM subsidi dari SPBU CODO 13.293.624 diduga disalurkan ke sejumlah gudang ilegal yang berjarak tidak jauh dari lokasi. Aktivitas ini berlangsung terbuka dan berulang, bahkan disertai laporan bahwa angkutan tronton batubara milik perusahaan swasta pun ikut dilayani menggunakan BBM subsidi pemerintah.
Padahal, regulasi BPH Migas dan Perpres Nomor 191 Tahun 2014 telah menegaskan bahwa kendaraan industri dan komersial dilarang menggunakan BBM bersubsidi. Namun fakta di lapangan berkata lain — SPBU ini justru melayani mereka dengan leluasa.
Aktivitas yang terjadi di SPBU CODO 13.293.624 diduga melanggar keras ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, khususnya Pasal 55, yang mengancam:
> “Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM bersubsidi dapat dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp60.000.000.000.”
Selain itu, keterlibatan pihak SPBU dalam memfasilitasi pelangsiran dapat dijerat dengan Pasal 56 KUHP tentang pembantuan kejahatan.
Sedangkan pelangsir dan pengangkut BBM tanpa izin usaha sah dapat dijerat Pasal 53 UU Migas, dengan ancaman penjara 4 tahun dan denda Rp40 miliar.
Kondisi yang terus berulang ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa aparat hukum dan Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut diam?
Sumber internal menyebutkan adanya dugaan upeti rutin kepada pihak tertentu agar aktivitas ini tetap aman.
Publik menanti sikap tegas Pertamina Patra Niaga dan BPH Migas terhadap SPBU nakal ini.
Sesuai kewenangan, Pertamina dapat menjatuhkan sanksi administratif berat, seperti penghentian pasokan BBM, pemblokiran akun QR, atau pencabutan izin operasional SPBU.
Sementara BPH Migas, di bawah kepemimpinan Ketua Komite Wahyudi Anas (2025–2029), berwenang melakukan koordinasi dengan kepolisian untuk penindakan pidana terhadap pelanggaran distribusi BBM bersubsidi.
Namun hingga berita ini diturunkan, belum terlihat tindakan konkret dari kedua lembaga tersebut.
Padahal, praktik ilegal di SPBU CODO 13.293.624 telah berulang kali dilaporkan sejak 2024 dan semakin marak sepanjang 2025.
Rilis ini menjadi alarm keras bagi Aparat Penegak Hukum (APH), Pertamina, dan BPH Migas, bahwa kebocoran BBM subsidi bukan sekadar pelanggaran administratif — tetapi pengkhianatan terhadap rakyat dan negara.
Jika dibiarkan, jutaan liter BBM bersubsidi yang seharusnya dinikmati petani, nelayan, dan masyarakat kecil akan terus disedot oleh mafia minyak yang dilindungi oleh sistem yang membusuk.
> “Negara jangan kalah dengan mafia BBM! Rakyat menunggu tindakan, bukan janji,” tegas salah satu aktivis energi Riau kepada media.
SPBU CODO 13.293.624 di Rengat, Inhu — diduga kuat menjadi sarang pelangsir BBM subsidi dan mafia solar yang beroperasi terbuka tanpa pengawasan efektif.
Jika tidak segera ditindak, ini akan menjadi preseden buruk bagi tata niaga energi nasional dan memperkuat keyakinan publik bahwa hukum di negeri ini masih tajam ke bawah, tumpul ke atas.
(RED)****


Komentar Via Facebook :